Redenominasi Dapat Memulihkan Martabat Rupiah
Jika redenominasi dilakukan, rupiah yang dijuluki sebagai salah satu mata uang “sampah” (the worst currencies) dalam pasar global dapat dipulihkan martabatnya.
Pada saat Darmin Nasution masih menjadi pejabat Gubernur Bank Indonesia (BI) pada Agustus 2012, ia pernah menyatakan bahwa redenominasi rupiah bukanlah merupakan fokus utama BI saat ini. BI lebih memusatkan perhatian pada bagaimana meningkatkan pengawasan perbankan serta menjalankan fungsi BI di bidang moneter (Kompas, 5/8/2010). Namun, tampaknya saat ini redenominasi merupakan sebuah kebutuhan yang perlu menjadi fokus BI.
Redenominasi rupiah secara awam dapat dikatakan sebagai penyederhanaan nominal atau pecahan rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Rencananya, pecahan uang Rp1.000 akan disederhanakan dengan pecahan Rp1 sehingga nantinya transaksi keuangan akan menjadi lebih mudah dan efisien. Untuk mengurangi kerepotan dalam transaksi tersebut, BI tentunya harus juga menyediakan pecahan terkecil, yaitu dalam sen (Rp0,001).
Redenominasi tentu saja tidak bisa dilakukan sekaligus dan dalam waktu singkat. Karena itu, diperlukan sosialisasi yang intensif agar masyarakat memahaminya terlebih dahulu. Bahkan, mungkin juga ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak memahami arti pentingnya redenominasi ini. Masyarakat dan DPR akan menganggap redenominasi ini sama dengan pemotongan uang (sanering) sehingga akan menimbulkan kekacauan jika sosialisasi kurang intensif dan menyeluruh.
Menurut keterangan BI, untuk melaksanakan redenominasi ini diperlukan waktu sepuluh tahun sejak sosialisasi pertama diluncurkan. Selama proses ini berlangsung, dukungan dari DPR dan masyarakat luas sangat menentukan keberhasilan redenominasi. Untuk itu, BI dan pemerintah (Kementerian Keuangan) harus aktif melakukan penerangan hingga pelosok-pelosok Tanah Air.
Jika redenominasi dilakukan, rupiah yang dijuluki sebagai salah satu mata uang “sampah” (the worst currencies) dalam pasar global dapat dipulihkan martabatnya. Negara-negara lain yang dianggap memiliki mata uang “sampah” lainnya adalah Zimbabwe , Vietnam , Sao Tome dan Principe, Laos, Iran , Guinea, Turkmenistan, Paraguay, dan Zambia (Kompas.com 23.12.2012).
Dengan penyederhanaan nominal rupiah, jika BRI berhasil merealisasikan targetnya, penulisan total asetnya sebesar Rp1.000 triliun tidak perlu lagi ditulis dengan Rp1.000.000.000.000.000. Kantor akuntan publik (KAP) tidak lagi perlu menuliskan angka-angka sampai 16 digit untuk laporan keuangan klien raksasanya.
Kita tak perlu repot bawa uang banyak-banyak kalau ingin menukarkan rupiah dengan dolar Amerika Serikat atau mata uang lainnya, misalnya. Untuk memperoleh US$ 1.000, kita tak perlu membawa uang Rp9.000.000 lagi, tapi cukup dengan Rp9.000 saja, walaupun jumlah lembarannya sama.